Label

Rabu, 29 Februari 2012

MENCICIPI KACANG METE KELAS DUNIA DI WOLOWARU ENDE LIO

Musim panen jambu mete di Pulau Flores seolah sebuah pesta yang baru saja selesai. Permukaan tanah ditutupi ribuan jambu mete jatuh di atasnya tak sempat ditampung petani yang kewalahan memanennya. Flores tak hanya mahsyur karena kakao, kemiri, kopra, kayu manis, mangga, atau kelapa, karena jambu mete pun tumbuh subur di atas tanahnya yang kerontang ditingalkan hujan selama 10 bulan.
Di berbagai desa sepanjang jalan Lintas Flores nampak jelas pohon ini menjadi bagian dari tanaman penghasil sekaligus pelindung yang tumbuh di halaman rumah. Lihatlah di atas tanah yang tak jauh dari pohonnya, buah jambu mete bertaburan seolah tak lagi mampu dimanfaatkan karena begitu melimpah.
Morfologi pulau Flores yang unik telah menjadikan hujan hanya singgah selama 2 bulan saja dalam setahun. Mungkin justru karena karakter tanahnya sehingga kacang mete yang merupakan biji yang menyembul dari buah jambunya terasa lebih kering dan renyah. Ada rasa seperti kerupuk gurih yang terus ingin dihaluskan di dalam mulut.
Semua itu bisa didapatkan menjadi makanan berselera setelah melalui proses pengolahan kacang mete di Wolowaru, sekitar 65 kilometer dari Kota Ende. Desa ini mungkin tidak lebih populer dari Moni yang hanya terpisah jarak sekitar 30 kilometer ke arah bukit yang menanjak. Tapi di desa ini, kacang mete menemukan tempat persinggahannya sebelum diekspor ke berbagai kota di Indonesia, bahkan ke luar negeri.
Kualitas kacang mete dari Wolowaru sungguh tak usah dipertanyakan lagi. Jenis kacangnya sudah tepilih dari pengelompokan kacang organik dan non-organik. Biji jambu mete yang diolah hanya yang jatuh dari pohon. Terlihat bahwa proses seleksi bahan bakunya pun dibantu oleh alam.
Badan sertifikasi yang datang dari Eropa setiap tahunnya akan tahu pasti mana yang jatuh dari pohon dan mana yang dipetik. Pemetikan sudah pasti menyalahi proses seleksi. Semua ini adalah proses ketat karena pasar Eropa menuntut kualitas prima.
Masyarakat Eropa seperti Jerman, Swiss, Belgia, dan Perancis, serta Amerika Serikat, Jepang, Singapura, dan Australia mengakui bahwa kacang mete Flores adalah produk terbaik, jauh lebih baik dari Afrika dan India.
Harga bahan baku kacang mete organik yang baik tentu lebih tinggi dari non-organik. Satu kilo kacang mete organik olahan yang sudah dikemas dibumbui dan siap maka harganya jauh lebih tinggi di pasaran. Sebagai gambaran, per kilo paket kacang mete siap makan bisa mencapai Rp 140.000.
Seorang warga dari Jawa Timur bernama Cahyo melihat peluang ini dan ia merintis usaha pengolahan kacang mete di Wolowaru. Dengan menampung kacang mete dari pemasok seluruh pulau Flores, terutama dari perkebunan jambu mete di Ile Padung, Larantuka, Cahyo memanfaatkan lahan yang tidak terlalu luas sebagai industri rumah tangganya. Kacang mete yang masih terbalut kulitnya yang keras dijemur di lantai berpermukaan semen tempat memarkirkan motor dan menyimpan pot-pot bunga. Dari tepi jalan, tempat ini hampir tak nampak karena dibentengi warung kelontong dan rumah makan bernama Warung Jawa Timur.
Sebuah ruangan berjendela di belakang warung dipadati karung berisi kacang mete yang sudah kering dan siap dipecah kulitnya. Berjejal dengan karung, meja menghadap dinding tembok dipadati hampir selusin pekerja yang bekerja berdasarkan tugas masing-masing. Di antara mereka ada yang mengayunkan tuas pemecah kulit kacang mete dan yang lain bertugas membersihkan kacang yang sudah dikuliti.
Proses pembelahan kacang, pemilahan, serta pembersihan melalui beberapa tahap. Dari pembersihan awal hingga finishing, seolah membuat benda kecil yang sangat berharga. Sarung tangan plastik dan penutup mulut dikenakan pegawainya sehingga pasti tidak adakontaminasi dalam mengemasnya. Asyiknya, pengunjung bisa melihat semua proses ini termasuk mengikuti uji rasa.
Proses ini memang panjang karena sudah ditetapkan oleh badan inspeksi dan sertifikasi dari Swiss yang khusus memeriksa pengolahan kacang mete yang disebut IMO (International Marketecotologi). Setiap tahun, badan ini datang dan memeriksa semua proses termasuk bahan dasar dan fasilitas.
Selain Wolowaru mendapat sertifikat IMO, perkebunan di Ilepadung, Larantuka pun bersertifikasi sejak 2005. Bila keterlibatan badan khusus sudah ada dalam bagian proses pengolahan maka tak perlu ragu bahwa kacang mete Flores, khususnya pengolahan di Wolowaru adalah makanan yang sudah pasti bermutu tinggi.
Faktanya, kacang mete memang mengandung beberapa komponen nutrisi yang sangat berguna bagi tubuh. Mengkonsumsi kacang mete membantu meningkatkan daya tahan tubuh karena terdapat 33 persen angka kecukupan gizi (AKG) pada elemen zinc. Selain itu, kacang mete dapat mengurangi perasaan depresi karena ada asam amino tryptophan yang dapat mengatasi rasa sedih dan meningkatkan sensasi semangat. Kacang mete juga dapat melindungi penuaan kulit serta mengurangi risiko gigi berlubang.
Secara ekonomi, usaha pengolahan kacang mete ini telah menyerap banyak tenaga kerja dan menjadi sumber pendapatan rumah tangga bahkan daerah. Tak pelak, sebuah organisasi pembangunan masyarakat lokal turut serta membantu usaha ini guna meningkatkan perekonomian masyarakat Flores pada umumnya.

Selasa, 28 Februari 2012

Ketika Suku Lio Kembali ke Huma

Liputan6.com, Ende: Suku Lio di Tanah Persekutuan Lisa Tana Telu di Desa Wololele A, Kabupaten Ende, Nusatenggara Timur, masih memelihara keramahannya. Buktinya, sebuah upacara yang disebut simo ata mangulao atala jalawa, senantiasa digelar ketika mereka kedatangan seorang tamu dari jauh. Pun demikian sewaktu tim Potret SCTV menyambangi perkampungan mereka di Kecamatan Lio Timur.
Di antara tarian wa`do nggo wani, mereka mengalungkan selembar kain tenun khas Ende yang dinamakan luka. Keramahan ini adalah pertanda warga desa tersebut menerima dengan sukacita. Bila datang pada saat yang tepat, pengunjung dapat menyaksikan upacara penanaman bibit padi atau disebut Tedo Pare Uma Nggua.
Lantunan untaian kalimat sarat religi pun menyeruak. Mea nosi leka wangge mbete. Ka rue sai bobo wangge mbete ina. Tedo tembu wesa wela, gaga boo kewi ae peni nge wesi nuwa wee. Pati do ka ina tii do ru'e ina. Wii sia tedo kema uma ria. Hoe sai beu-beu rago sai. Bewa-bewa ana he tekuku. Untaian itu mengartikan bahwa mereka mempersilakan leluhur menerima sajian. Mereka sekaligus bersyukur karena musim tanam sudah dimulai. Mereka berharap pula agar tanaman tumbuh subur sehingga bisa dipanen.
Penghormatan terhadap tamu juga disimbolkan dengan pemberian sirih dan pinang atau paneka. Disajikan pula minuman khas suku Lio yang disebut mokke di Sao Ria atau rumah adat. Dan sembari menikmati mokke, pelaksanaRia Bewa yakni Solomon Weda Wangge bercerita banyak tentang kehidupan sukunya.
Desa Wololele A berada sekitar 80 kilometer dari pusat Kota Ende, tepatnya di tengah Pulau Flores, NTT. Perkampungan ini berada di tengah-tengah perbukitan. Tak aneh, bila sumber kehidupan warga sepenuhnya bergantung pada huma dan hutan.
Suku lio di tempat ini memang termasuk kelompok masyarakat peladang. Tepatnya, peladang berpindah. Mereka menebangi pohon-pohon di bukit-bukit curam, lantas mengubahnya menjadi deretan huma. Mereka bercocok tanam, persis seperti yang dilakukan nenek moyangnya di masa lampau.
Beberapa di antara warga suku Lio di Desa Wololele A juga masih berburu hewan. Terutama buat memenuhi kebutuhannya sendiri. Misalnya, berburu musang atau tikus.
Komunitas suku Lio di Desa Wololele A juga masih memelihara keaslian konsep pemerintahan tradisionalnya. Desa ini adalah pusat seluruh kegiatan suku Lio yang tergabung dalam Tanah Persekutuan Lisa Tana Telu. Kepala adat tertinggi di tempat ini disebut Ria Bewa dan di tingkat yang lebih rendah, mereka memiliki mosalakibogahage,bogeria hingga bogelo`o sebagai penjaga-penjaga kegiatan adat.
Dahulu kala, suku Lio menyebut Du`a Nggai sebagai Tuhan yang patut disembah. Setelah raja Lio pertama, Pius Rasi Wangge, memperkenalkan agama Katolik mereka pun memiliki keyakinan baru. Walau demikian, mereka tetap memelihara kebiasaan-kebiasaan untuk mengagungkan roh leluhur seperti yang dilakoni oleh nenek moyang di masa silam.
Pengagungan suku Lio di Desa Wololele A terhadap leluhur terlihat jelas dari ritual-ritual yang digelar. Mereka senantiasa menyiapkan seekor daging babi sebagai menu utama untuk dihidangkan kepada roh leluhur dan warga sendiri.
Khusus untuk tamu yang tidak memakan daging babi, mereka menyiapkan seekor ayam atau kambing yang mesti dipotong sendiri. Ini bertujuan agar sang tamu tidak ragu-ragu terhadap kehalalan makanan yang dihidangkan.
Dan di sebuah lereng bukit, Maksimus Mete dan kawan-kawan sedang menyiapkan pusat upacara penanaman bibit padi untuk esok hari yang disebut kawini. Sementara di malam kedua, upacara patika atamata dilangsungkan sebagai permohonan restu atas upacara Tedo Pare Uma Nggua atau upacara menanam bibit padi yang akan dilakukan esok.
Pelaksana Ria Bewa, Solomon Weda Wangge, mengenakan pakaian kebesaran suku Lio atau lambu gebi ditemani oleh mosalaki dan pemuka adat lainnya. Di depannya, beras merah dan daging babi telah terhidang untuk disantap bersama-sama. Suku Lio memang dikenal sangat menjunjung tinggi makna kebersamaan, namun adat istiadat tetap dijaga.
Misalkan soal aturan makan bersama. Kaum perempuan diperbolehkan makan setelah para pria selesai bersantap bersama pelaksana Ria Bewa. Setelah atabisa menyampaikan bosawaga atau mantra persembahan untuk roh Wangge Mbete, ia juga melakukan ritual serupa untuk nitupai atau roh halus yang dipercaya menjaga warga Wololele A.
Ritual menghidangkan beras merah dan daging babi juga diadakan di depan Sao Ria. Tepat di sebuah tonggak yang disebut Tana Watu yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya roh penjaga bumi. Selanjutnya, atabisa atau dukun ini pun mendatangi makam leluhur lainnya. Yakni, bapak, kakek, dan buyut dari Ria Bewa sendiri.
Akhirnya puncak acara Tedo Pare Uma Nggua atau upacara penanaman bibit padi pun tiba. Seluruh warga lelaki atau perempuan mengenakan pakaian adat untuk mengikuti upacara tahunan ini. Di dalam rumah adat, pelaksana Ria Bewa juga menunaikan persiapan upacara. Selain memohon restu kepada leluhur Wangge Mbete, mereka menyiapkan bibit padi laka gete dan kea teke mite yang dicampur dengan perhiasan emas atau ngawu gewu wini.
Dari dua bibit inilah mereka berharap bisa memperoleh hasil panen melimpah untuk bahan makanannya selama setahun. Tentunya tanpa adanya hama atau gangguan alam. Lantas, pelaksana Ria Bewa dan seluruh penduduk Desa Wololele A bersama-sama menuju lereng bukit.
Berdasarkan kepercayaan suku Lio, upacara Tedo Pare Uma Nggua digelar buat mengingat pengorbanan Bobi Nombi yang mengikhlaskan nyawanya untuk anak-anaknya. Pengorbanan ini dilakukan karena diyakini dalam tubuh Bobi Nombi terkandung berbagai bibit pangan.
Tak hanya itu. Upacara ini dilakukan sebagai konsep menjaga keseimbangan antara manusia dan Tuhan, serta antara warga suku Lio dan leluhurnya. Termasuk antara warga Desa Wololele A dan alam itu sendiri.
Nasi merah, sirih pinang, mokke, dan seekor babi adalah sajian utama untuk persembahan kepada Bobi Nombi dan roh leluhur. Kemudian, meanosi atau pemimpin upacara menutup ritual mantra persembahan untuk Bobi Nomi dan leluhur, pelaksana Ria Bewa mengajak seluruh warganya untuk bersantap bersama. Ikatan kebersamaan dan kerukunan begitu terasa di tempat ini.
Ketika seorang mosalaki menyenandungkan Nangi Ndale, warga pun satu per satu menuruni bukit dan mulai menanam. Nangi Ndale adalah nyanyian berupa ratapan atas kematian Bobi Nambi yang diyakini sebagai Dewi Sri-nya warga suku Lio.
Upacara Tedo Pare Uma Nggua bukan hanya mengajarkan warga suku Lio tentang konsep keseimbangan antara manusia dan Yang Maha Pencipta. Juga antara manusia dan leluhurnya atau antara manusia dan alam. Namun, melalui upacara atau ritual adat, mereka memperlihatkan keharmonisan hubungan antar manusia itu sendiri.
Dengan konsep kepemimpinan yang terpusat pada seorang Ria Bewa, mereka dididik untuk hidup rukun dan menjunjung makna kebersamaan. Tanpa berpikir soal materi atau keinginan duniawi yang berlebih. Dan mereka ternyata menikmati makna kerukunan dan kebersamaan itu.(ANS/Tim Potret SCTV)

Penggalangan Dana IKEL Sangatta

Untuk mendukung kegiatan yang telah direncanakan oleh para pengurus Ikatan Keluarga Ende Lio Sangatta, maka direncanakan untuk melakukan penggalangan dana bersama dalam rangka persiapan pelantikan Pengurus Ikatan Keluarga Ende Lio Sangatta - Kutai Timur - Kaltim.

searah jarum jam: sao ria di wolondopo, wolojita, wolofeo, wolowaru
Proses penggalangan di Kota Sangatta akan dilakukan secara serentak pada 4 wilayah dalam kota Sangatta dan rencananya akan mulai dilaksanakan pada tanggal 28 Pebruari 2012 hingga selesai, dan kegiatan tersebut akan dijalankan oleh masing-masing koordinator wilayah.
Panorama Danau Kelimutu

Mengingat pentingnya hal tersebut, dan agar semuanya dapat berlangsung dengan lancar, diharapkan keterlibatan semua pihak dari warga Ende Lio di Sangatta untuk dapat berperan aktif yang sekaligus sebagai upaya dan bentuk dukungan langsung terhadap suskesnya kegiatan yang telah direncanakan.


Partisipasi kita semua, ine, ame, aji, kae, eja, weta lei sawe merupakan upaya nyata dari kita semua untuk mendukung dan mensukseskan kegiatan tersebut.

Salam
Pengurus IKEL Sangatta 




Notes:
1) bagi yang belum jelas dan ingin bertanya dapat langsung menghubungi para pengurus dan/atau para koordinator masing-masing wilayah;


2) semua bentuk partisipasi, baik berupa dana, dan lain-lain, akan dilaporkan kembali setelah selesainya kegiatan untuk menjaga akuntabilitas publik dan akan diumumukan melalui media sosial ini dan/atau buletin serta blog kesayangan kita;



Senin, 27 Februari 2012

Ende Lio - Flores - NTT

Bagian-1 (Wolowaru)

Ende Lio, sebuah wilayah yang masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Ende di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, sejak masa kemerdekaan telah melahirkan banyak cendekiawan yang juga telah memberikan andil kepada pembangunan di republik ini.

Berbatasan langsung dengan Kabupaten Sikka di bagian timur, dan Kabupaten Ngada di bagian barat, serta Laut Flores di utara dan Laut Sawu di selatan, Kabupaten Ende memberikan pesona tersendiri yang mampu menghipnotis siapa saja yang datang ke Pulau Flores.

Wilayah Ende Lio meliputi 18 kecamatan, diantaranya adalah Kecamatan Detukeli, Detusoko, Ende, Ende Selatan, Ende Tengah, Ende Timur, Ende Utara, Kelimutu, Kota Baru, Lio Timur, Mau Karo, Mau Role, Nangapanda, Ndona, Ndona Timur, Ndori, Pulau Ende, Wewaria, Wolojita, dan Wolowaru.

Dari ke-18 kecamatan tersebut memiliki karakteristik yang hampir sama dan merupakan sebuah rumpun besar dalam etnis Ende, dan etnis Lio. Selain itu, pengaruh Ende Lio di Pulau Flores juga meliputi hingga sebagian wilayah di Kabupaten Nagekeo serta sebagian di Kabupaten Sikka.

Dimulai dari Kecamatan Wolowaru, kami sajikan beberapa objek penting untuk memperkayah kasanah dan pemahaman kita tentang wilayah Ende Lio yang kita cintai, dan semoga melalui media ini, kekhasan kita semakin dikenal dalam rangka memperkuat kekayaan khasanah informasi di republik ini.


sa'o ria di wolowaru

pasar tradisional di wolowaru



pasar tradisional di wolowaru

pasar tradisional di wolowaru

IKEL Sangatta Kutai Timur - Kaltim

Keluarga Besar Ende Lio Sangatta - Kutai Timur - Kaltim, berencana untuk mengadakan kegiatan pengukuhan organisasi IKEL Sangatta pada tanggal 14 April 2012.

Menghadapi rencana kegiatan tersebut, maka seluruh pengurus IKEL sesuai dengan kesepakatan bersama akan melakukan penggalangan dana bersama dalam rangka mensukseskan kegiatan tersebut melalui undangan penggalangan dana yang akan disebarkan kepada seluruh warga Ende Lio di Sangatta.

Sebuah harapan bersama agar apa yang telah direncanakan tersebut dapat berjalan dengan lancar, dan untuk kegiatan tersebut juga direncanakan akan mengundang Bapak Bupati Ende - NTT, Keluarga Besar IKLE Samarinda - Kaltim serta tokoh-tokoh Ende Lio yang ada di Samarinda.

Oleh karena itu, untuk mendukung terselenggaranya kegiatan tersebut, kami mengajak seluruh warga Ende Lio untuk dapat berperan aktif serta terlibat langsung dalam kegiatan tersebut.

Ikatan Keluarga Ende Lio Sangatta

Ikatan Keluarga Ende Lio, disingkat IKEL, lahir dari adanya sebuah kesamaan Visi dan Misi sesama warga Ende Lio di perantauan, khususnya di Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Sejak awal berdirinya, banyak kendala yang dihadapi para pengurusnya, bahkan sempat mengalami sebuah stagnasi dalam kehidupan organisasi IKEL sendiri, sehingga sebuah semangat pembaharuan akhirnya digaungkan, untuk kembali menghidupkan sebuah semangat kebersamaan agar roda organisasi kembali berjalan sesuai dengan dinamika yang ada.

Kini, digawangi oleh para anak muda Ende Lio di Sangata, serta didukung oleh orang-orang tua, IKEL kembali datang dan hadir dengan sebuah semangat baru, untuk membangun sebuah solidaritas bersama, mengisi ruang kebhinekaan di Bumi Kutai Timur.

Selamat kepada seluruh pengurus IKEL Sangatta Kutai Timur, semoga semua rencana yang telah digaungkan, dapat terlaksana dengan baik dan lancar..............